Bayangkan bila Tahu Tek tanpa tahu
dan kecap manis?
Tanpa regenerasi petani yang mampu menghasilkan bahan alami berkualitas, #KelezatanAsli Nusantara bisa hilang.
Menyadari pentingnya hal tersebut,
di setiap Bango edisi Cita Mallika,
mendukung regenerasi #PetaniUntukIndonesia.
kemasan spesial
edisi cita mallika
Kolaborasi Bango x Didiet Maulana x Dee Lestari
Bango edisi Cita Mallika mengusung motif yang
terinspirasi dari biji Mallika oleh Didiet Maulana,
diiringi dengan puisi indah gubahan Dee Lestari
tentang kisah para petani Indonesia.
dari tanah tani
ke piring saji
oleh Dee Lestari
kisah inspiratif
para petani mallika
Perjalanan yang banyak memberikan
arti akan pentingnya regenerasi
petani di Indonesia.
Simak kisah inspiratif para petani
agar sajian Nusantara tetap terjaga
hingga generasi mendatang.
Dari hasil panen kedelai hitam,
ia berhasil membangun jembatan yang berperan penting bagi masyarakat dan usaha pertaniannya.
Hal tersebut membangun kepercayaan dirinya untuk terus bertanam kedelai hitam Mallika.
Menjalani kehidupan bertani tak pernah disesali, karena hal tersebut telah
berhasil membawanya ke keadaan keluarganya sekarang.
Kesejahteraan hidupnya meningkat
dari hasil bertani kedelai hitam.
Dari awal diperkenalkan kepada Mallika,
ia telah yakin akan keberhasilannya.
Hal itu terbukti dari ketahanannya terhadap cuaca dan stabilitas harga
yang diberikan dari hasil taninya.
Kini ia semakin yakin untuk terus
menanam kedelai hitam Mallika.
Dari semua usaha bertaninya,
ia mendapatkan hasil panen yang baik dengan kedelai hitam.
Di dalam lubuk hatinya yang terdalam,
ia menyimpan harapan agar muncul
generasi petani muda di Indonesia.
Karena ia menyadari bahwa keberlangsungan pangan Indonesia berada di tangan para petani.
Perjalanan yang banyak memberikan
arti akan pentingnya regenerasi
petani di Indonesia.
Simak kisah inspiratif para petani
agar sajian Nusantara tetap terjaga
hingga generasi mendatang.
pak sukisna
Dari semua usaha bertaninya,
ia mendapatkan hasil panen yang baik dengan kedelai hitam.
Di dalam lubuk hatinya yang terdalam,
ia menyimpan harapan agar muncul
generasi petani muda di Indonesia.
Karena ia menyadari bahwa keberlangsungan pangan Indonesia berada di tangan para petani.
pak ijir
Menjalani kehidupan bertani tak pernah disesali, karena hal tersebut telah
berhasil membawanya ke keadaan keluarganya sekarang.
Kesejahteraan hidupnya meningkat
dari hasil bertani kedelai hitam.
Pak rusdiyanto
Dari hasil panen kedelai hitam, ia berhasil membangun jembatan yang berperan penting bagi masyarakat dan usaha pertaniannya. Hal tersebut membangun kepercayaan dirinya untuk terus bertanam kedelai hitam Mallika.
pak margo
Dari awal diperkenalkan kepada Mallika,
ia telah yakin akan keberhasilannya.
Hal itu terbukti dari ketahanannya terhadap cuaca dan stabilitas harga
yang diberikan dari hasil taninya.
Kini ia semakin yakin untuk terus
menanam kedelai hitam Mallika.
program petani muda bango
di the learning farm
program petani muda bango
di the learning farm
Bango bersama The Learning Farm (TLF), sebuah organisasi non-profit di bidang pemberdayaan pertanian, memberikan pelatihan bertani kepada para pemuda selama 100 hari.
galeri kegiatan x the learning farm
galeri kegiatan x the learning farm
Petani Muda Bango di The Learning Farm belajar mengenai budidaya tanah, budidaya berbagai tanaman dan ternak, pemupukan dan pengendalian hama. Diharapkan mereka dapat terus menekuni profesi bertani demi terwujudnya regenerasi petani.
Sepenuh hati, petani Muda Bango sedang merawat tanaman kedelai hitam Mallika, bahan utama kecap Bango, agar #KelezatanAsli kuliner Indonesia terus terjaga.
Selain materi pertanian, para peserta Petani Muda Bango diajarkan materi pengembangan soft skills seperti Bahasa Inggris, Komputer, Interpersonal Communication dan Kewirausahaan.
Assry, salah satu peserta program Petani Muda Bango, bertekad ingin menjadi petani sukses dan membuka peluang pekerjaan bagi orang lain.
Bango mengajak Kawan Kuliner setia-nya berkunjung ke The Learning Farm untuk melihat secara langsung bagaimana program Petani Muda Bango berjalan.
Kawan Kuliner diajari secara langsung oleh pakarnya mengenai dasar-dasar bertani.
Kawan Kuliner pun turut serta diajarkan cara menanam kedelai hitam Mallika yang nantinya akan menjadi bahan dasar dalam pembuatan kecap Bango.
Kawan Kuliner belajar menanam serta cara memanen sayuran dengan baik dan merasakan bagaimana rasanya menjadi petani sehari.
Diharapkan program Petani Muda Bango dapat menginspirasi generasi muda lainnya untuk menekuni profesi bertani. Bersama Bango, terus dukung regenerasi #PetaniUntukIndonesia
Petani Muda Bango di The Learning Farm belajar mengenai budidaya tanah, budidaya berbagai tanaman dan ternak, pemupukan dan pengendalian hama. Diharapkan mereka dapat terus menekuni profesi bertani demi terwujudnya regenerasi petani.
Sepenuh hati, petani Muda Bango sedang merawat tanaman kedelai hitam Mallika, bahan utama kecap Bango, agar #KelezatanAsli kuliner Indonesia terus terjaga.
Selain materi pertanian, para peserta Petani Muda Bango diajarkan materi pengembangan soft skills seperti Bahasa Inggris, Komputer, Interpersonal Communication dan Kewirausahaan.
Assry, salah satu peserta program Petani Muda Bango, bertekad ingin menjadi petani sukses dan membuka peluang pekerjaan bagi orang lain.
Bango mengajak Kawan Kuliner setia-nya berkunjung ke The Learning Farm untuk melihat secara langsung bagaimana program Petani Muda Bango berjalan.
Kawan Kuliner diajari secara langsung oleh pakarnya mengenai dasar-dasar bertani.
Kawan Kuliner pun turut serta diajarkan cara menanam kedelai hitam Mallika yang nantinya akan menjadi bahan dasar dalam pembuatan kecap Bango.
Kawan Kuliner belajar menanam serta cara memanen sayuran dengan baik dan merasakan bagaimana rasanya menjadi petani sehari.
Diharapkan program Petani Muda Bango dapat menginspirasi generasi muda lainnya untuk menekuni profesi bertani. Bersama Bango, terus dukung regenerasi #PetaniUntukIndonesia
Beli Produk
Bermula dari benih bernutrisi
Hingga ke wadah-wadah saji
Diracik ibu lintas generasi
Inilah kisahnya
Suara hati petani
SEMANGKUK bumbu kacang yang tengah saya aduk mulai tiba di konsistensi yang tepat. Kotak-kotak tahu kuning merek Cibuntu, hasil pelesir singkat ke Bandung kemarin lusa, mengeluarkan uap panas dan wangi gurih minyak goreng. Seraup taoge yang baru saya rendam air panas masih lembap di saringan. Timun yang belum lama keluar dari kulkas terasa sejuk di jemari, dagingnya terdengar renyah saat tercacah bilah pisau yang saya ayun cepat.
“Siap mencoba kupat tahu rumahan?” tanya saya kepada tiga orang yang sudah bersiaga di meja makan sedari tadi. Suami dan kedua anak saya. Sesungguhnya mereka tidak punya pilihan. Kupat tahu adalah menu yang saya janjikan dan persiapkan untuk sarapan kami. Tidak ada hidangan cadangan lain.
Di dasar piring, potongan lontong ditumpuk oleh bongkahan tahu panas. Taoge yang berseling dengan cacahan timun menutup permukaan piring. Saus kacang mengalir, menyelimuti dan menyelinapi lapis demi lapis. Saya meraih botol kecap. Dengan aliran yang runcing dan tegas, saya membuat garis-garis hitam silang menyilang. Taburan kerupuk aci jatuh paling akhir.
Dengan semangat, mereka mulai menyuap. Dengan resah, saya mengantisipasi. Saya tahu persis, kupat tahu buatan saya tidak akan sebanding dengan Kupat Tahu Gempol, sumber inspirasi sarapan pagi itu, tapi minimal layak dimakan.
Mata suami saya, Reza, seorang vegetarian, membundar. “Hmm, enak,” komentarnya.
Kedua anak saya, Keenan dan Atisha, ikut mengangguk-angguk.
“Nggak suka taoge, sih. Tapi, ini enak,” kata Keenan.
“Aku suka kerupuknya,” Atisha menambahkan.
Setelah saya merasa situasi ketiganya aman untuk melanjutkan sarapan, barulah saya ikut duduk dan menyantap racikan saya sendiri.
“Ada dua jenis kupat tahu yang terkenal di Bandung. Kupat tahu saus kacang, dan kupat tahu saus petis. Ini yang saus kacang.” Saya berkata sambil menuang kecap di piring saya. “Kupat tahu saus kacang yang paling terkenal ada di Jalan Gempol. Saus petis yang legendaris ada di Pasar Cihapit.” Di balik bunyi kriuk kerupuk aci yang dipecah-pecah sebagai sentuhan penutup, saya menyadari nada sentimental yang sulit ditutupi dari suara saya.
Ada jendela yang membuka setiap kali sesuap hidangan tiba di lidah kita. Melampaui yang beramai-ramai dihantarkan lewat pintu indra—tekstur yang terasa di rongga mulut, citarasa yang terkecap lewat lidah, aroma yang tercium oleh hidung—makanan turut menghantarkan cerita. Tak jarang, bahkan membuka kenangan.
Tumbuh besar di Jalan Patrakomala, baik Jalan Gempol maupun Pasar Cihapit berada tak jauh dari rumah keluarga kami. Pasar Cihapit, yang bisa ditempuh dengan berjalan kaki, adalah tempat ibu saya berbelanja sehari-hari. Saat menunggu beliau masuk ke pasar basah dan berbelanja, menikmati sepiring kupat tahu petis yang mangkal di tikungan jalan Cihapit adalah kemewahan. Lokasi Kupat Tahu Gempol terletak sedikit lebih jauh, bisa ditempuh dengan berkendara atau dengan naik becak dari rumah. Konsep kedua tempat itu sendiri tak jauh berbeda; sederhana, bertenda, berbasis gerobak. Di antara keduanya, Kupat Tahu Gempol lebih besar, lebih terkenal, dan sudah bercabang ke beberapa tempat, sementara Kupat Tahu Cihapit masih bertahan dengan gerobak dan di tikungan yang sama.
Beberapa daerah lain di Indonesia memiliki kupat tahu versi khasnya masing-masing. Magelang, misalnya, kuah kecapnya lebih cair, kacangnya hanya digerus kasar dan lebih berupa taburan, ada variasi selipan bakwan dan irisan dadar telur. Versi Solo memakai tahu putih, irisan kol, dan tambahan mi kuning. Kupat Tahu Gempol sendiri tampaknya mengacu ke khas daerah Singaparna yang sama-sama memakai taoge rebus dan saus kacang ulak yang kental.
Sejenak saya mencuri pandang ke kedua anak saya yang menyantap sarapannya dengan muka ragu bercampur ingin tahu. Hanya pada kesempatan khusus, jika saya punya waktu luang cukup, barulah saya berkesempatan menyiapkan hidangan sarapan yang butuh waktu persiapan ekstra macam kupat tahu. Ketika rutinitas harian yang serbacepat mengambil alih dan kepraktisan menjadi prioritas, anak-anak saya lebih sering sarapan makanan yang siap cepat seperti roti dan sereal. Jika bukan diperkenalkan oleh orang tua, bagaimana sarapan tradisional dapat beregenerasi untuk mencapai generasi yang lebih muda—yang kini punya pilihan lebih banyak, lebih praktis, dan lebih internasional?
Pertanyaan itu, meski sekilas dan sepintas, ternyata membawa perenungan yang panjang dan bercabang di ekornya. Satu kata bercokol berhari-hari dalam benak saya. Regenerasi.
Masakan tradisional Indonesia memiliki unsur-unsur khas, mulai dari bahan hingga kecakapan pembuatnya. Regenerasi tak cuma bisa berhenti di lapis konsumen, tetapi juga produsen. Dan, ketika bahan-bahan baku khas kuliner tradisional kita ditarik lagi ke produk mentah, kita akan bertemu dengan sang hulu. Petani.
Di luar perkiraan, perenungan spontan saya pagi itu bersambut cepat. Keingintahuan yang kemudian berujung kepada sebuah perjalanan.
CARA terbaik untuk mengenali sebuah tempat adalah lewat pasarnya.
Itulah slogan pribadi saya ketika melakukan perjalanan ke satu daerah. Jika waktu dan kesempatan mengizinkan, bagi saya tidak ada yang lebih menarik dibandingkan mengunjungi pasarnya.
Pasar merupakan etalase praktis sekaligus intim untuk mengenali sebuah tempat baru. Di sana kita melihat interaksi manusia yang apa adanya, kita mendengar bahasa asli mereka, kita mencicip makanan dan minuman khasnya. Di sana kita pun dapat menemukan keunikan; bahan-bahan makanan, buah, sayur yang tumbuh dan disukai di daerah tersebut. Mengunjungi Pasar Cakranegara di Mataram membuat saya bisa melihat langsung kangkung Lombok yang ukurannya satu setengah kali lebih besar dibandingkan kangkung di Jawa. Mengunjungi Pasar Gede di Solo membuat saya jadi tahu buah star apple, yang disebut “strapel” oleh orang-orang di pasar, dan untuk kali pertama saya mencicip getirnya jambu monyet.
Pagi sudah mulai beranjak siang ketika saya tiba di Pasar Wates, Kulon Progo.
Kurang lebih satu jam sebelumnya, saya tiba di Bandara Adisutjipto, Yogyakarta, yang berlanjut dengan berkendara ke Kulon Progo.
Ketibaan saya di Pasar Wates merupakan mata rantai dari undangan istimewa yang datang pada paruh awal 2018. Seorang kenalan lama, Angki, mengajak saya meninjau langsung kehidupan para petani di Kabupaten Kulon Progo, salah satu daerah penghasil besar kedelai hitam di Pulau Jawa. Kedelai hitam merupakan bahan baku utama kecap. Selain gula kelapa, boleh dibilang keberlangsungan kecap amat bergantung kepada ketersediaan kedelai hitam.
Ajakan itu seakan menjadi respons atas momen di meja makan ketika sarapan kupat tahu berakhir dengan renungan panjang saya tentang masa depan kuliner Indonesia. Tentu saja undangan itu tidak saya sia-siakan. Setelah menyepakati jadwal, maka pada satu tanggal di akhir Februari saya dan Angki membuat janji bersua di Yogyakarta.
Angki adalah profil “petani” modern. Ilmu pertanian ditempuhnya lewat jalur formal. Angki tidak memiliki atau menggarap lahan taninya sendiri. Ia berprofesi sebagai penyuluh dan pembina petani. Pekerjaan itu membawa Angki berkeliling ke daerah-daerah, memperkenalkan teknologi, sistem, dan bibit termutakhir kepada para petani. Kulon Progo adalah tempatnya bertugas selama beberapa tahun terakhir.
Sesuai permintaan kecil yang saya ajukan sesaat setelah Angki menjemput saya di Adi Sucipto, kami mampir ke Pasar Wates yang terlewat dalam perjalanan darat kami menuju Kulon Progo.
“Tapi, kita nggak bisa lama-lama, ya, Mbak. Soalnya nanti kita ditunggu di koperasi,” Anggi mengingatkan di halaman parkir.
Saya mengiyakan. Tak mau buang waktu, saya langsung bergerak sendirian menelusuri gang-gang pasar. Seperempat jam kemudian, saya sudah parkir di sebuah kedai kecil yang menjual teh poci, membawa “harta karun” hasil penelusuran singkat barusan. Sebuah kantong plastik berisi gula batu kuning, wedang uwuh, dan bumbu pecel wijen hitam. Teh poci yang saya pesan datang dengan suhu mendidih. Saya tidak yakin punya cukup waktu untuk menghabiskannya. Kendati demikian, obrolan santai dalam bahasa Jawa dari orang-orang tua yang duduk di meja sebelah memberi efek menenangkan. Tempo cepat saya seolah diisap ke dalam arus percakapan mereka. Meski tak saya pahami sepenuhnya, saya menangkap bahwa seorang bapak tua tengah membanggakan sepeda ontel warisan zaman kolonial miliknya yang masih mulus dan berfungsi kepada teman-temannya.
“Sudah pernah ditawar puluhan juta oleh bule, tapi saya nggak kasih.” Tahu-tahu ia berkata sambil menolehkan kepala, mendaratkan matanya pada saya. Entah kapan tepatnya saya resmi masuk ke pembicaraan mereka. Ini kejutan menyenangkan yang kerap terjadi ketika saya duduk di pasar. Interaksi spontan yang sepenuhnya baru.
Dari percakapan singkat kami, yang bahkan tak melibatkan pertukaran nama, saya mengetahui bahwa bapak itu memiliki seorang putra yang tinggal di Belanda, merek sepeda ontelnya Fongers, dan setiap hari beliau bersepeda ke Pasar Wates lalu nongkrong di kedai yang sama.
Hanya dua seruput teh poci yang terminum. Angki sudah keburu datang menyusul. Tak lama, saya kembali melaju di mobil menuju perhentian berikutnya. Koperasi Tani Kulon Progo.
MATAHARI mulai terik menusuk kulit ketika saya melangkah keluar di tempat parkir kantor koperasi yang saat itu diisi beberapa sepeda motor.
Seorang perempuan berkacamata dan berkerudung merah jambu menyambut saya dengan senyum ramah. Saya menaksir usianya sekitar 30-an, sebaya dengan Angki. Namanya Rini. Bersama dengan Angki, Rini juga salah seorang penyuluh petani di Kulon Progo.
Rini dan Angki berperan sebagai jembatan bagi banyak pihak Mereka berdualah yang berinteraksi langsung baik dengan petani, pihak koperasi, maupun pihak produsen yang rutin membeli panen dalam jumlah besar. Mereka berdua juga yang akan menjembatani saya dengan para petani nanti.
Rini membawa saya masuk ke dalam koperasi. Setidaknya ada enam orang pria yang menyambut kami. Para pengurus dan staf koperasi.
“Saya bilang bahwa Mbak Dewi mau mampir untuk melihat-lihat ke gudang,” kata Rini.
“Monggo, Mbak. Istirahat dulu.” Seorang bapak berkemeja rapi menyilakan saya masuk ke sebuah ruang rapat dengan meja panjang. Di atasnya, berjejer rapi gelas-gelas berisi teh.
Saya merasa disambut terlampau istimewa untuk sebuah kunjungan ke gudang.
Seakan membaca pikiran saya, bapak tadi berkata, “Kan, Mbak-nya tamu dari jauh, jadi harus kami sambut dengan baik,” katanya dengan senyum lebar.
Kami lalu duduk bersama di ruangan yang disejukkan oleh sebuah kipas angin. Sekilas saya dijelaskan tentang Koperasi Tani Kulon Progo yang berdiri tahun 1997. Awalnya, koperasi ini hanya koperasi simpan pinjam. Perkembangannya yang pesat membawa Koperasi Tani Kulon Progo berhasil menjadi salah satu koperasi terbaik di Indonesia, bahkan menjadi juara nasional untuk kategori kelompok ekonomi petani dan kategori koperasi berprestasi.
Saya kemudian dibawa menengok gudang tempat penyimpanan hasil panen kedelai hitam. Karung-karung kedelai hitam tertumpuk rapi dari lantai hingga ke langit-langit. Mesin-mesin penyortir berputar dan bergetar. Tangan-tangan petugas yang cekatan menampung biji-biji kedelai hitam ke dalam baskom-baskom besar.
Kamera saya akhirnya keluar dari ransel. Saya mulai sibuk mengambil gambar.
“Sebagian dari hasil panen ini kami olah lagi jadi benih buat petani.” Seorang staf berkata.
“Jadi, semua proses sortir sudah dilakukan dengan mesin ya, Pak?”
“Oh, tidak,” jawabnya cepat. “Setelah dari sini, akan disortir manual lagi oleh ibu-ibu. Mata mereka lebih hebat daripada mesin,” lanjutnya diiringi tawa ringan.
Seketika saya penasaran dengan “ibu-ibu” yang dimaksud. Lebih hebat daripada mesin?
Keingintahuan saya terjawab dalam waktu singkat. Segera setelah kunjungan ke koperasi, Angki dan Rini mengajak saya mampir ke salah satu rumah tempat ibu-ibu mitra koperasi menyortir kedelai hitam.
Berbeda dengan suasana di pabrik, proses sortir yang berlangsung di beranda rumah itu terasa santai, bahkan mirip seperti kumpul-kumpul belaka. Empat orang ibu duduk berselonjor di lantai keramik. Mereka menghadapi tampah bambu masing-masing, tempat biji kedelai ditebar dan disortir dengan tangan. Sambil sesekali mengobrol, mata mereka tak lepas memandangi biji kedelai, jemari mereka bergerak cepat, memutar biji demi biji, menilai butir demi butir.
“Selamat pagi, Bu,” saya menyapa.
Konsentrasi mereka sejenak terpecah. Melihat sosok Rini dan Angki yang tak asing, air muka mereka seketika melunak. “Pagi,” balas mereka dengan ramah.
“Dari Jakarta, ya?” Salah satu bertanya.
“Betul, Bu.”
Seolah paham kedatangan kami hanya untuk meninjau dan mengamati, ibu-ibu itu melanjutkan proses sortir sekaligus obrolan mereka tanpa beban. Pertanyaan kami menjadi interupsi sesekali yang dijawab dengan ramah.
“Sehari bisa selesai berapa banyak, Bu?” tanya saya.
“Yah, bisa segitu.” Seorang ibu mengarahkan kepalanya ke karung ukuran 25 kg yang disesaki kedelai hitam. “Nanti kalau habis, terus masih ada waktu, lanjut lagi. Sebisanya saja.”
Belakangan saya tahu bahwa para ibu itu mengambil sendiri karung-karung kedelai hitam ke koperasi. Mereka datang dengan sepeda, pulang membonceng karung, lalu bekerja dari rumah. Puluhan perempuan di Kulon Progo, yang kebanyakan buruh tani maupun istri petani, berprofesi sebagai penyortir kedelai hitam. Pekerjaan menyortir memberikan penghasilan tambahan, dan memberikan keleluasaan untuk para ibu agar bisa bekerja dari rumah.
Sudah hampir satu setengah jam lewat dari tengah hari ketika kami berpamitan. Rihat makan siang menjadi salah satu yang paling saya tunggu.
Ternyata yang dinanti-nanti keluarnya justru paling belakangan. Piring saji cekung itu berisi makanan menyerupai gudeg. Saya bilang menyerupai karena meski warna dan aromanya mirip, gudeg yang satu ini bentuknya memanjang, lentur, dan ramping-ramping macam kacang panjang.
“Nah, ini dia. Gudeg manggar,” kata Angki.
“Manggar?” Saya mengulang. Sejenak saya sempat mengira itu nama daerah.
“Manggar itu putik bunga kelapa, Mbak,” jelas Angki. “Bumbunya persis sama dengan gudeg nangka. Hanya bahan dasar gudegnya saja yang lain.”
Saya mencoba sesuap.
“Bagaimana? Enak?” Waswas, Angki bertanya.
“Banget,” jawab saya dengan mantap. “Saya malah lebih suka ini ketimbang nangka.”
Angki mengacungkan jempol diiringi tawa lebar. Ia tampak puas mengetahui kejutannya berhasil dengan sukses.
Sementara gudeg yang memakai nangka teksturnya lembut sehingga terlumat tanpa perlawanan di mulut, manggar ini lebih renyah seperti mengunyah daging kelapa yang agak tua.
Di tengah-tengah lalu lintas piring-piring saji yang mengedari meja makan besar itu, Angki bercerita tentang sejarah unik gudeg manggar. Menurutnya, pada zaman kolonial dulu, penggunaan manggar sebagai bahan gudeg, dan bukannya nangka, merupakan simbol perlawanan rakyat Bantul terhadap keraton yang dianggap berpihak kepada Belanda. Seiring waktu, gudeg manggar sempat menyusut popularitasnya. Namun, ketika minat masyarakat terhadap kuliner tradisional meningkat, gudeg manggar kembali diburu karena keunikan dan kelangkaannya. Selain di tempat lahirnya di Bantul, kini gudeg manggar juga bisa didapatkan di beberapa tempat makan di Yogyakarta.
Tak pelak saya membayangkan berapa banyak kuliner tradisional yang kini masih tersembunyi, yang berada di tepi kepunahan akibat terlupakan, akibat regenerasi yang terputus. Berapa banyak yang akhirnya selamat, yang kembali dikenal dan berhasil lestari?
Pada sisa hari itu, dan hari-hari berikutnya, cercah-cercah jawaban dan pelajaran terpetik saat saya mendengarkan langsung kisah demi kisah dari para petani kedelai hitam.
Lewat sentuhan tani
Dari hari ke hari
Merawat dengan hati
Terkandung pula mimpi mereka
Bertani dalam kelestarian
Dalam berkecukupan
BAGI pemilik rumah yang kami datangi, sawah luas membentang menjadi pemandangan sehari-hari. Gemercik air terdengar konstan dari aliran kali mungil yang menengahi rumah itu dan jalan raya. Jembatan beton berpulaskan cat merah hati berdiri di atas kali. Meski pendek, dengan panjang tak lebih dari tiga meter dan lebar mengepas ukuran satu mobil, jembatan itu tampak kokoh menghubungkan pekarangan tanah dengan jalan aspal.
Mobil yang kami tumpangi bergerak pelan di atas jembatan, sepintas saya membaca sederet tanggal tertatah di dinding jembatan, sebelum akhirnya mobil kami berhenti tak jauh dari bangunan rumah.
Halaman itu terasa lapang. Di sebelah kiri, tersamarkan pokok-pokok pisang, tampak gunungan pakan rumput. Dari baunya, saya meyakini di sana ada kandang ternak, meskipun batang hidung hewannya belum tampak.
Seorang bapak berkemeja cokelat muda dengan sarung kotak-kotak menyambut kami. Perawakannya kecil, kulitnya legam terbakar matahari. Ia memperkenalkan diri. Namanya Rusdiyanto.
Dari ruang tamu itu, tampak daun pintu kayu berwarna hijau yang saya duga adalah pintu kamar tidur, bersisian dengan selembar partisi kain yang ketika tersibak menampakkan dapur beralas ubin.
Tak lama setelah kami duduk, lembar kain itu menyibak, mengantarkan keluar perempuan separuh baya dengan kerudung longgar yang menutup kepalanya. Ia membawa nampan berisi gelas-gelas teh panas dan satu stoples keripik melinjo.
“Ini Bu Rus.” Pak Rusdiyanto memperkenalkan istrinya. “Silakan dicoba. Ini buatannya Ibu.” Pak Rusdiyanto menggeser stoples keripik melinjo itu ke dekat kami.
Angki mulai membuka percakapan. Sambil menyimak, pandangan saya beredar. Ada beberapa pigura berisi piagam penghargaan yang tergantung di dinding. Tertera nama Kliwon.
Lewat percakapan yang dimulai Angki, saya mengetahui Pak Rusdiyanto kini berusia 52 tahun. Dari gerak-gerik yang lincah dan postur yang tegap, ia terlihat muda untuk usianya. Akan tetapi, akibat garis-garis dalam yang menjejak di wajah hasil paparan matahari keras bertahun-tahun, ia juga tampak lebih tua untuk usianya.
Sehari-hari, Pak Rusdiyanto menggarap lahan seluas lima ribu meter persegi. Sebagian miliknya sendiri, sebagian lagi milik kerabatnya yang ia kerjakan dengan sistem bagi hasil. Lahan-lahan itu ditanaminya padi, palawija, umbi-umbian, dan sayur-sayuran.
Perkenalan dengan kedelai hitam Mallika meninggalkan kesan mendalam bagi Pak Rusdiyanto. Pada tahun 2008, ketika di desanya tersiar anjuran untuk menanam kedelai hitam, Pak Rusdiyanto bergeming. Ia mengingat dirinya sebagai petani paling “ngeyel” yang tidak mudah percaya begitu saja.
“Saya dengar kedelai hitam lebih kuat. Terus, saya dengar-dengar lagi, katanya kedelai hitam panennya lebih banyak. Tapi, saya mau bukti. Jadi, saya biarkan yang lain menanam duluan,” tuturnya.
“Kalau musim padi, ya, padi. Kalau musim palawija, saya tanam kedelai putih.”
Setelah dua tahun bertahan di posisi lihat dan tunggu, akhirnya Pak Rusdiyanto tergerak untuk mencoba. “Namanya coba-coba, saya nggak tanam banyak-banyak dulu. Sebagian saja kedelai hitamnya. Sebagian lagi saya biarkan tetap kedelai putih.”
Percobaan Pak Rusdiyanto langsung mendapat ujian. Pada tahun yang sama saat ia menanam kedelai hitam untuk kali pertama, banjir besar melanda Kulon Progo.
Selama dua hari penuh, tanah ladangnya tak terlihat. Seluruhnya diselimuti air. “Dalam hati, saya sudah pasrah. Kedelai itu paling tidak bisa terendam air berlama-lama. Saya yakin kedelai saya pasti gagal.”
Setelah air surut, Pak Rusdiyanto mengecek ladangnya lalu terkaget-kaget ketika menemukan perhitungannya meleset. Sementara kedelai putihnya layu membusuk, kedelai hitamnya bertahan.
“Di situlah, keraguan saya hilang pada kedelai hitam hilang sama sekali,” tegasnya. Agar punya penghasilan yang terjaga, Pak Rusdiyanto menata penanaman dan jenis komoditasnya sedemikian rupa. “Sehabis padi, saya panen bawang merah, habis itu cabe, habis itu jagung, tomat, kedelai. Pokoknya setiap dua bulan harus ada pemasukan,” tandasnya.
Pak Rusdiyanto memberi kesan sebagai seseorang yang punya konsep manajemen. Saya pun tergerak menanyakan rutinitas hariannya.
“Saya dan mbok bangun jam tiga, langsung kasih makan ternak dan beres-beres di rumah, jam tujuh saya sudah ke ladang.”
“Sarapan dulu kan, Pak?” celetuk Rini.
Pak Rusdiyanto mengernyit. “Jarang.”
“Kenapa gitu, Pak?”
“Kami itu kalau makan padahal belum kerja, kok, rasanya nggak enak. Paling saya minum saja, atau makan pisang. Makannya nanti habis kerja,” jawabnya. “Kalau lahan sendiri saya kerja sampai jam dua belas, kalau di lahan orang, saya kerja sampai jam empat,” tuturnya.
“Hari Minggu libur?” tanya saya.
“Nggak ada hari libur. Kecuali kalau ada yang mantenan.”
“Nggak capek, Pak?”
“Begini rahasianya. Kalau capek, saya putar badan. Kepala di bawah, kaki di atas. Nanti capeknya jatuh sendiri.”
Tawa kami pecah. Namun, saya yakin Pak Rusdiyanto sungguh-sungguh mengimani kiatnya.
Ibu Rusdiyanto bergerak mendekat, lalu menggeser stoples, seolah mengingatkan kami agar tak lupa mencicip suguhannya.
Saya mencomot satu keping. Keripik melinjo itu renyah dan gurih.
“Enak sekali, Bu. Bisa dijual ini,” saya berseloroh.
“Lha, memang dagangan saya.” Ibu Rusdiyanto tertawa kecil. “Saya bikin, terus dijual lagi ke warung atau ke pasar. Kalau senggang, saya jualan sendiri.”
Percakapan kami bergeser ke anak mereka. Seorang putra tunggal yang diberi nama Angger Binuko.
“Angger itu artinya anak pertama. Binuko itu pembuka jalan.” Binar kebanggaan di matanya tak bisa terbendung ketika Pak Rusdiyanto mulai bercerita tentang Angger, lulusan STM Pengasih yang mengambil jurusan Gambar Mesin. Angger berprestasi sejak SMA, bahkan pernah mewakili sekolahnya di sebuah ajang lomba matematika, sejenak Pak Rusdiyanto berpikir keras untuk memformulasikan kata-kata yang barangkali asing baginya, “... hmm, Math Fair,” ucapnya canggung.
Kini, putra tunggalnya telah melanjutkan studi di jurusan Mesin Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.
“Dua tahun lalu, Angger ikut lomba lagi. Lomba perancangan mesin listrik,” tutur Pak Rusdiyanto. “Lumayan. Dapat juara Harapan 3.”
“Berarti Angger tinggal di Yogyakarta, Pak?” Saya memastikan.
“Betul. Dia kos di sana. Pulang ke rumah sini seminggu sekali.”
“Kalau sedang pulang, Angger ikut bantu Bapak ke sawah?”
Pak Rusdiyanto melepas tawa ringan. “Ah, dia tidak begitu suka tani. Kalau memang dimintai tolong, ya, mau. Tapi, dia nggak betah lama-lama. Namanya juga nggak biasa. Nggak apa-apa. Saya nggak paksa.”
“Bapak nggak kepengin Angger jadi petani?”
Pak Rusdiyanto mengangkat bahu. “Terserah dia saja.”
“Pak,” ucap saya hati-hati, “kalau Kliwon itu siapa?”
“Oh, mari. Saya tunjukkan.” Sigap, Pak Rusdiyanto berdiri lalu berjalan ke pintu.
Kami semua ikut berdiri, mengikuti arah langkahnya.
Pak Rusdiyanto membawa kami ke samping rumahnya, ke arah pokok-pokok pisang. Persis di balik gunungan pakan rumput yang tadi saya lihat, terdapat palang-palang kayu yang membentuk kandang. Di dalamnya, seekor sapi besar berwarna putih tengah duduk. Mulutnya mengunyah. Melihat kami datang, ia langsung berdiri tegak.
“Itu dia Kliwon,” kata Pak Rusdiyanto. “Jenis sapi Majapahit. Wataknya keras, galak.”
“Yang benar, Pak?” Sukar rasanya membayangkan hewan putih dengan mata hitam bundar lucu itu bisa-bisanya galak.
“Dia nggak mau didekati sembarang orang. Si mbok saja pernah hampir ditendang,” jawabnya. “Baru nurut kalau sama saya. Kalau saya panggil ‘Won!’ begitu, langsung dia noleh.”
Di samping Kliwon, ada kandang lain, seekor sapi yang sama-sama berwarna putih dengan ukuran lebih kecil, berdiri menatap kami.
“Itu anaknya Kliwon. Belum dijinakkan.”
“Dijinakkan bagaimana, Pak?”
“Dikasih keluh,” Pak Rusdiyanto menunjuk cincin di hidung Kliwon, “yang buat di hidungnya itu.”
Saya manggut-manggut, “Namanya siapa, Pak?”
“Belum saya kasih nama.”
Antara sebelum atau sesudah berladang, Pak Rusdiyanto kadang-kadang menggembalakan Kliwon agar sapi putih itu punya kesempatan jalan-jalan dan merumput bebas. Kliwon yang kini berusia sepuluh tahun adalah sapi juara yang sudah beberapa kali memenangkan kejuaraan. Keturunan Kliwon tidak diperbolehkan dijual ke luar daerah agar bibit juaranya bertahan di Kulon Progo.
“Saya ikut senang, Pak.” Kalimat itu meluncur tak terbendung dari mulut saya. “Bapak ini bertangan dingin. Anak Bapak berprestasi. Sapi Bapak juga berprestasi.”
Pak Rusdiyanto tertawa kecil. “Yang paling penting buat saya cuma Angger sekolah setinggi-tingginya, dan setelah itu bekerja sesuai keinginannya.”
“Bapak sendiri, punya keinginan atau cita-cita yang masih mau dicapai, mungkin?”
“Saya bertani saja....” Nada kalimat Pak Rusdiyanto menggantung, ia sepertinya teringat sesuatu. “Saya mau coba menanam suweg.”
Kami semua berpandang-pandangan. Hanya Rini dan Angki yang tampak mengerti.
“Bunga bangkai,” imbuh Rini.
Penjelasan Rini malah menambah misteri. Bunga bangkai? “Suweg itu umbi tempat bunga bangkai keluar,” jelas Pak Rusdiyanto. “Kalau belum dimasak, getahnya gatal luar biasa. Kalau sudah dimasak, nikmatnya luar biasa.” Pak Rusdiyanto menyikut Angki sambil tertawa kecil, “Ini Mas Angki sudah saya suruh coba, tapi belum berani.”
Menurut Pak Rusdiyanto, suweg punya potensi kuliner yang cemerlang. Selain unik dan nilai ekonomisnya menjanjikan, suweg ini konon punya banyak khasiat penyembuhan. “Kapan-kapan saya suguhi, ya,” katanya.
“Belum kepengin naik haji, Pak?” Angki bertanya.
“Tentu keinginan ada. Tapi, nanti saja, kalau sudah siap lahir batin. Banyak yang cuma punya uangnya tapi batinnya belum siap. Saya tunggu dua-duanya,” jawab Pak Rusdiyanto dengan tenang.
Selain sekantong keripik melinjo, optimisme adalah bekal yang kami bawa pulang saat meninggalkan kediaman Pak Rusdiyanto. Beliau dan istrinya adalah potret petani yang terbukti berhasil meningkatkan taraf hidup. Keturunan mereka berhasil mendapatkan pendidikan yang lebih baik serta potensi karier yang menjanjikan. Ibu Rus punya penghasilan sampingan yang ia tekuni dengan suka hati. Pak Rusdiyanto punya Kliwon yang juga menjadi curahan perhatian sekaligus sumber kebanggaan.
Pak Rusdiyanto mengantar kami hingga ke jembatan. Sebelum kami masuk ke mobil, Pak Rusdiyanto menyempatkan diri menunjukkan sesuatu. Sederet tanggal yang terukir di jembatannya. 21 April 2011.
“Sebelum tanggal ini, saya cuma punya jembatan besi. Bekas rel sepur. Mobil bak tidak bisa masuk. Saya harus bolak-balik mengangkut hasil panen pakai keser. Capek sekali.” Pak Rusdiyanto sejenak berhenti, mempelajari air muka saya. “Tahu keser?”
Saya menggeleng.
“Keser itu gerobak yang ditarik. Saya sapinya,” ucapnya dengan senyum. “Saya bangun jembatan ini dari hasil panen kedelai hitam. 21 hari dari nol sampai jadi. Selesainya juga tepat tanggal 21. Jadi, kalau ditanya, apa jasa kedelai hitam buat saya, inilah yang paling jelas.”
Jika tadi saya menahan diri menyumbang nama bagi anak Kliwon—saya sempat terpikir antara Legi, Wage, atau pancawara Jawa lainnya—kali ini judul jembatan itu tercetus spontan. “Jembatan April,” gumam saya pelan.
Kemungkinan besar ucapan saya tidak terdengar oleh Pak Rusdiyanto. Terbaur oleh raungan knalpot motor yang melintas dan suara gemercik aliran kali di bawah kami. Namun, saya sadar cetusan nama jembatan itu kalah penting dibandingkan pelajaran yang dihadirkan oleh jembatan itu sendiri.
Tak sampai dua puluh meter jarak antara tepi jalan dan beranda rumah Pak Rusdiyanto. Akan tetapi, jembatan merah hati itu punya peran yang jauh lebih besar, melampaui jarak fisik yang terlihat, yakni menautkan jarak tak terbilang antara Pak Rus dan impiannya. Jembatan April menjadi jawaban atas kepercayaan Pak Rusdiyanto kepada kedelai hitam.
LEKAT saya amati sebongkah arang panas yang dibawa berpindah dari tungku menuju mulut gelas kopi. Ketika arang itu bertemu dengan air kopi, maka terdengarlah bunyi desis dan meletup seiring asap putih yang membubung. Dengan sebatang sendok, arang itu lalu ditekan ke dalam kopi. Sesaat kemudian, gelas yang kini berisi gabungan kopi dan arang bergeser ke depan saya.
Panas arang tadi seolah mendesak wangi kopi untuk lebih keluar. Bagi saya, itu wangi nostalgia. Berbeda dengan wangi kopi yang dihasilkan oleh mesin espresso, wangi kopi tubruk yang didominasi biji Robusta memiliki ciri khas tersendiri. Hangus, berat, berkualitas karamel. Seperti itulah jenis kopi yang kali pertama saya kenal. Wangi kopi dari gelas ayah saya.
Sesaat saya menahan napas, mengantisipasi. Tubuh saya termasuk sensitif terhadap efek kafein. Kopi bagi saya tidak hanya masalah enak tak enak, tetapi juga soal waktu meminumnya. Kopi pada petang hari sebenarnya bukan ide yang baik. Namun, hari ini menjadi perkecualian. Kopi arang, alias Kopi Joss, sudah lama membuat saya penasaran.
“Kayaknya nggak bakal habis,” ucap saya kepada Angki.
“Nggak apa-apa. Yang penting sudah coba,” balasnya.
Saya menyeruput. Citarasa nostalgia itu menyeruak lagi. Tubrukan antara air panas, gula pasir, dan serbuk kopi kasar dari biji Robusta yang digiling sampai hitam.
“Gimana, Mbak? Sesuai harapan?”
Saya tersenyum kecil dan mengangguk. “Legit,” jawab saya.
Angkringan Lik Man tempat kami singgah petang itu cukup ramai walau tak sampai sesak. Sebagian dari mereka tampaknya turis seperti saya, yang baru perdana mencicip Kopi Joss, terlihat dari aksi selfie dan memotret gelas dari berbagai sudut. Sementara yang lain, yang tampaknya sudah berpengalaman dengan kopi arang, minum dengan air muka biasa-biasa saja. Seorang bapak bahkan menuangkan kopinya ke piring kecil lalu menyeruputnya dari piring. Ia pun mengingatkan saya kepada kebiasaan Ayah.
“Senang rasanya dengar cerita Pak Rus tadi.” Rini, yang duduk di samping saya, tiba-tiba berceletuk.
“Beliau itu sederhana tapi pemikirannya progresif.” Saya mengangguk setuju. “Tapi, kalau anaknya hanya satu, dan anaknya tidak jadi petani, yang meneruskan lahannya siapa kira-kira, ya?”
Pertanyaan itu seolah mengapung di udara malam, hanya disambut oleh suara jalan dan riuh angkringan. Teguk demi teguk mengiringi lamunan saya yang terbang ke sana kemari. Langit yang tadi kebiruan kini menggelap.
Seperempat gelas terminum, dan saya berhenti. Kalau saya teruskan lebih banyak, tidur malam nanti yang jadi korban. Perasaan saya mengatakan esok kami akan menemukan kisah yang berbeda. Pelajaran yang tak kalah berharga.
“Besok kita akan ketemu siapa?” tanya saya.
“Nah. Besok itu kita akan ketemu keluarga petani, Mbak,” Rini menyambar dengan bersemangat. “Bersaudara profesinya tani semua. Umurnya juga beragam.”
“Mbak Dewi sudah mau istirahat?” tanya Angki. Ia sepertinya menyadari gestur saya yang sudah menjauhkan gelas dan mengemas tas. “Nggak lanjut kuliner malam?”
“Malam ini cukup dulu.” Saya mengangkat tangan tanda menyerah. Malam ini saya akan berpuas untuk memesan makanan di hotel. Hari ini merupakan hari yang panjang dan perjalanan kami belum selesai. Dompet saya yang nongol dari tas langsung ditahan oleh Rini.
“Jangan, Mbak,” sergahnya. “Mbak Dewi tamu kami. Jadi, kami yang traktir, ya.”
“Saya masih tiga hari di sini, lho. Masa nanti dibayarin terus? Besok gantian, ya,” kata saya. “Saya traktir suweg.”
Angki tertawa paling keras.
Dari benih hingga jadi panji
Kekayaan sajian bangsa
Jerih, kisah, harapan petani
Untuk makmur dan lestari
Dari tanah dan tangan sendiri
RESTORAN di hotel tempat saya menginap dikenal memiliki variasi buffet yang komplet, mulai dari masakan Barat, Oriental, Jepang, sampai tradisional Jawa. Namun, pagi itu saya sengaja menyisakan ruang di lambung. Sebuah pesan singkat dari Rini berkata: Kuenya sudah aman.
Begitu saya memasuki mobil jemputan, sebuah kotak disodorkan. Begitu tutupnya membuka, tercium aroma pandan. Beralas selembar daun pisang, berjajarlah kue-kue lonjong dan lengket berwarna hijau dengan ukuran bite size. Terlihat jejak kuning kecokelatan hasil panggangan.
“Ini yang namanya kue kipo, Mbak.”
Saya mencomot satu. Rasa manis gula merah yang berbaur dengan gurih kelapa pecah di mulut.
“Hmm. Enak,” saya menggumam. “Makasih, ya, sudah dicarikan.”
“Dekat rumah, kok, Mbak. Ibu saya juga sering beli,” jawab Rini.
“Kue apa, sih? Saya yang sudah lama di Yogya malah belum belum pernah coba,” celetuk Angki sambil ikut mencomot.
“Nah, itu namanya! “Kue ‘apa ini?’—‘iki opo’. Disingkat jadi ‘kipo’.”
“Serius?” tanya Angki di sela kunyahan.
“Beneran!” Rini tergelak.
Sebagai penggemar jajanan tradisional, beberapa hari sebelum berangkat, saya sempat iseng mencari informasi di internet tentang jajanan unik Yogyakarta yang belum pernah saya coba. Kue kipo muncul di penelusuran saya. Kue, yang meski bahan-bahannya tak asing—beras ketan, santan, suji, pandan, kelapa parut, gula merah—memiliki sejarah yang menarik. Kue kipo sudah ada sejak abad 16 pada masa kesultanan Mataram. Namun, kue itu sempat menghilang seiring dengan runtuhnya Kerajaan Mataram dan menjadi makanan langka. Hingga akhirnya pada tahun ’80-an, seorang ibu bernama Paijem Djito yang dikenal dengan panggilan Bu Djito, kembali memperkenalkannya lewat sebuah perlombaan kudapan tradisional. Kue zaman kuno itu konon mengundang banyak pertanyaan, “iki opo?” Dan, lahirlah sebutan kue kipo.
Citarasa kue kipo sejujurnya tak jauh berbeda dengan banyak jenis kue tradisional lain, yang rata-rata menggunakan bahan mirip-mirip. Namun, membayangkan jajanan itu pernah hadir ratusan tahun lalu, dimakan dan digemari layaknya sekarang kita keranjingan jajanan kekinian seperti martabak green tea dan kue cubit red velvet, menjadikan kue kipo sebuah pengalaman unik.
Saat kami memasuki Kulonprogo, sekotak kue kipo tandas sudah.
JALAN yang kami lalui lebih sempit dan berkelok daripada sebelumnya. Pada satu titik, mobil kami berhenti, dan kami harus meneruskan perjalanan dengan berjalan kaki singkat. Berbeda dengan kediaman Pak Rusdiyanto yang terletak berjauhan dengan rumah-rumah tetangga, rumah-rumah di sini lebih rapat-rapat. Beberapa anak kecil lari berseliweran di jalan setapak yang kami lalui. Di sebuah rumah bercat krem, pemandu kami berhenti, melepas alas kaki. Kami mengikuti. Di dalam rumah itu, sudah ada tiga orang yang duduk menanti.
Hamparan tikar mengalasi ruang tamu. Kami semua duduk lesehan. Saya melirik ke samping, menemukan tumpukan baju dan kain yang kelihatannya seperti order jahitan. Terlihat dari sebuah mesin jahit, alat-alat menjahit lain yang bertebaran di dekatnya.
Tiga orang di hadapan kami itu masih berkerabat. Pak Ijir, Pak Suradi, dan Ibu Ngadilah.
Pak Ijir, yang tampak paling muda dari tiga kerabat itu, membuka percakapan lebih dahulu. Ia memperkenalkan Ibu Ngadilah sebagai kakak sepupunya, dan Pak Suradi sebagai kakak iparnya. Pak Ijir, seorang lulusan STM, adalah tuan rumah kami siang itu. Percakapan kami disela oleh kedatangan teh panas dan ubi kukus yang diantarkan seorang perempuan, yang saya taksir berusia awal 30 tahunan.
“Istri saya, Sumyati.” Pak Ijir memperkenalkan istrinya yang mengangguk ramah kepada kami seraya menata suguhannya di tikar. Ibu Sumyati lalu ikut bergabung di ruangan itu. Dari balik tirai, seorang anak batita melongokkan kepala, malu-malu duduk di pangkuan ibunya sambil mencuri-curi pandang, mempelajari tamu-tamu asing dari Jakarta yang memenuhi rumahnya siang itu.
Pak Ijir mulai bercerita. Dibandingkan Ibu Ngadilah dan Pak Suradi, dirinyalah yang paling belakangan bertani. Pak Ijir sempat lama meninggalkan Kulon Progo, merantau ke Tangerang lalu bekerja di pabrik konveksi.
Di Tangerang jualah Pak Ijir mengenal istrinya, Sumyati, asal Boyolali, yang juga bekerja di pabrik konveksi. Perubahan kehidupan berkeluarga mulai membuat Pak Ijir mempertimbangkan pulang ke kampung. Terutama ketika ia menerima kabar bahwa lahan keluarganya di kampung tidak ada yang mengurus. Setelah menimbang-nimbang, Pak Ijir dan Ibu Sumyati akhirnya memutuskan untuk pulang.
Keahlian menjahit yang dipelajari Ibu Sumyati di pabrik konveksi menjadi keahlian berharga. Di kampung itu tidak banyak yang punya keahlian menjahit. Ibu Sumyati langsung kebanjiran order.
“Banyak sekali pesanan, sampai saya kerepotan,” kata Ibu Sumyati sambil menunjuk tumpukan kain di dekat mesin jahitnya.
“Sebelum Ibu buka jahitan, orang-orang di sini harus pergi jauh buat cari penjahit.
Hasilnya juga nggak lebih bagus,” Pak Ijir menambahkan.
“Lagi terpikir mengajar ibu-ibu di sini menjahit, supaya pesanan jahitan nggak menumpuk di saya,” lanjut Ibu Sumyati.
“Bagus sekali kalau bisa begitu, Bu. Ilmunya jadi berkah buat banyak orang,” cetus saya, menyemangati. “Mungkin Bu Ngadilah bisa ikut jadi penjahit,” saya berkelakar.
Ibu Ngadilah, yang duduk di pojok dengan busana kebaya dan kain batik yang mulai memudar, ikut tertawa. Tampak beberapa giginya telah tanggal. Saya tak tahu berapa usia Ibu Ngadilah. Beliau pun tidak tahu persis berapa. Ketika ditanya, beliau sempat menjawab, mungkin 50-an. Sepupunya, Pak Suradi, langsung menyambar dalam bahasa Jawa yang kira-kira artinya: tidak mungkin, pasti lebih!
Ibu Ngadilah bahkan tidak tamat SD. Dalam bahasa Jawa bercampur sedikit-sedikit bahasa Indonesia, Ibu Ngadilah sekilas menceritakan masa kecilnya. Bertani merupakan keahlian satu-satunya yang ia tahu. Ibu Ngadilah tidak menamatkan pendidikan sekolah dasar karena tak lama setelah adiknya lahir, orang tua mereka menyuruh Ngadilah kecil berhenti bersekolah agar bisa mengurusi adiknya. Sejak kecil, Ibu Ngadilah membantu orang tuanya di ladang sambil memomong adik-adik yang jumlahnya terus bertambah. Kini, Ibu Ngadilah telah memomong lima cucu dari dua anaknya.
“Anak-anak sekarang beda sekali dengan zaman saya. Dulu, anak-anak tahunya, ya, cuma tani,” ucapnya.
Rini bertanya, “Ibu pernah punya impian lain, mungkin?”
Ibu Ngadilah mengerutkan kening sambil menyunggingkan senyum kecil. Pertanyaan itu tampak membuatnya bingung sekaligus geli. Namun, ia terlihat berusaha keras untuk merumuskan jawaban. Setelah bergumam panjang, Ibu Ngadilah menjawab dengan nada mengambang, “Pelihara kambing?”
“Ternak lele,” Pak Suradi berceletuk, yang langsung disambut anggukan dari Ibu Ngadilah.
Angki ikut bertanya, “Saat ini apa yang paling Ibu inginkan, kira-kira?”
Menanggapi pertanyaan itu, Ibu Ngadilah terlihat lebih yakin. “Pupuk sama obat-obatan,” jawabnya.
“Sudah lama menanam kedelai hitam, Bu?” tanya saya.
“Lumayan, sudah empat kali panen” jawabnya, “dia yang duluan.” Ibu Ngadilah menunjuk Pak Suradi yang duduk tak jauh darinya.
“Betul. Saya yang pertama kali menanam,” ujar Pak Suradi.
Perhatian kami beralih ke Pak Suradi yang sedari tadi belum banyak bicara.
“Awalnya saya dikasih tahu oleh koperasi. Saya coba duluan dan kaget dengan hasilnya,” kata Pak Suradi. “Kok, tangguh sekali kedelai hitam ini. Hasil panennya juga lebih banyak.” Terkesan dengan benih Mallika yang ia tanam, Pak Suradi meyakinkan Ibu Ngadilah, dan juga keponakannya, Pak Ijir. “Musim tanam berikutnya, akhirnya kami bertiga sama-sama menanam kedelai hitam. Sampai sekarang.”
Ketika diberi pertanyaan sama tentang hal yang paling ia inginkan, jawaban Pak Suradi seragam dengan Ibu Ngadilah, yakni ketersediaan pupuk dan obat-obatan.
“Anak-anak Bapak dan Ibu bertani juga?” tanya saya.
Baik Pak Suradi dan Ibu Ngadilah menggeleng.
“Anak laki saya ada yang jadi supir, yang perempuan jadi ibu rumah tangga, kalau yang bungsu masih di STM,” timpal Ibu Ngadilah.
“Anak saya kerja di stasiun kereta Lempuyanan, jadi kuli,” kata Pak Suradi. “Dia hanya ikut tani kalau lagi pulang ke rumah.”
Tatapan saya mendarat pada anak lelaki yang dipangku Ibu Sumyati. “Kalau Pak Ijir, nantinya mau anaknya jadi petani juga nggak, Pak?”
“Kalau bisa, ya, nggak. Kalau bisa lebih baik,” ucap Pak Ijir ringan. Seolah menyadari dirinya sedang menjadi objek pembicaraan, anak itu beringsut pindah ke pangkuan ayahnya. Pak Ijir menyambut lalu “Tapi, saya bebaskan saja mau jadi apa.”
“Apa yang membuat Ibu bahagia?” Angki tahu-tahu melempar pertanyaan kepada Ibu Ngadilah.
Kembali Ibu Ngadilah menerbitkan air muka yang berbaur antara bingung dan geli.
Beliau bahkan tampak tersipu. Saya menduga mungkin itulah kali pertama beliau menerima pertanyaan semacam itu.
Setelah berpikir beberapa saat, akhirnya Ibu Ngadilah menjawab ringkas. “Panen.”
“Yang bikin Ibu paling sedih?”
Mendengar pertanyaan itu, sebuah tebakan jawaban melintas spontan dalam benak saya. Dan, benar saja, jawaban Ibu Ngadilah mengonfirmasinya.
“Gagal panen,” tegasnya.
“Mau bertani sampai kapan, Bu?” tanya saya.
“Sekuatnya,” jawab Ibu Ngadilah, “yang penting lahan jangan sampai menganggur.”
Jawaban Ibu Ngadilah lalu diamini kedua saudaranya melalui anggukan samar.
Obrolan masih terus berlanjut hingga gelas-gelas teh kami menyusut dan sebagian ubi kukus terlahap. Namun, pikiran saya tertambat pada pembicaraan kami sebelumnya. Pada air muka Ibu Ngadilah saat mendengar pertanyaan yang sepertinya begitu janggal di telinganya.
Konsep impian, passion, makna kebahagiaan, merupakan konsep-konsep lazim yang beredar sehari-hari dalam kehidupan manusia perkotaan modern. Kita menanyakannya sejak dini kepada anak-anak kita. Kita mendiskusikan dan merenungkannya di forum-forum, di buku-buku motivasi, di fiksi-fiksi. Kita mendefisikannya ulang, berkali-kali, seiring perkembangan hidup kita masing-masing. Namun, bagi sebagian masyarakat seperti Ibu Ngadilah, mempertanyakan impian adalah konsep asing. Dan, bukan hanya beliau yang usianya sudah cukup sepuh, bahkan kedua saudara yang lebih muda pun menunjukkan kecanggungan serupa ketika berhadapan dengan pertanyaan-pertanyaan itu.
Bagi ketiganya, hidup memiliki rumus sederhana. Berbahagia ketika panen, berdebar menunggu panen, dan nelangsa ketika gagal panen. Satu langkah lebih jauh dari itu adalah usaha ternak. Dengan catatan, jika modalnya ada. Masa depan anak-anak mereka, dan pekerjaan yang kelak anak-anak mereka jalankan, merupakan gambar semu yang terletak jauh di awang-awang. Setiap harinya, Ibu Ngadilah, Pak Suradi, dan Pak Ijir, meletakkan harapan mereka ke bumi.
“Kami puas bertani kedelai hitam. Pokoknya, yang penting bisa beli pupuk, beli obat, sama cuaca bagus, nggak banjir. Itu saja.” Itulah kalimat penutup Ibu Ngadilah yang saya ingat sebelum kami berpamitan.
Sore itu saya kembali ke Yogyakarta, membawa pulang momen dan catatan pribadi saya dari pertemuan-pertemuan hari ini.
Akan mudah bagi cara pandang modern kita untuk tergelincir ke dalam pemikiran bahwa kesederhanaan Ibu Ngadilah sekeluarga merupakan kondisi yang harus “diobati”.
Namun, jika sejenak kita tanggalkan kelaziman yang kita tahu, jika sejenak kita melihat dari cakrawala mereka, niscaya kita temukan kualitas lain yang asing bagi cara pandang kita. Mutiara pelajaran yang tak kalah berharga. Keberserahan. Harapan, yang meski tidak melambung tinggi hingga ke bintang, tetapi dekat dengan tanah sehingga lebih mudah untuk membawa kita tetap membumi.
Susuri abad dan zaman
Menembus badai perubahan
Makna yang bertumbuh di tanah
Cinta yang memayungi di angkasa
Menjadi kekuatan penembus waktu
KEDAI di pinggir Jalan Sosrowijayan itu lebih kecil dari yang saya bayangkan. Semua bangku plastik terisi penuh. Kami terpaksa berdiri menunggu giliran duduk. Untungnya, ternyata tersimpan beberapa bangku plastik cadangan, dikeluarkan belakangan entah dari mana. Keberuntungan berada di pihak kami. Jumlahnya genap tiga bangku.
Saya melewatkan sarapan buffet hotel demi mengecap gudeg tertua di Yogyakarta, tepatnya gudeg dengan penjual tertua, yakni Gudeg Mbok Lindu.
Mbah Lindu, panggilan akrab dari perempuan yang berusia hampir seratus tahun dan bernama asli Setyo Utomo itu, telah berjualan gudeg dari usia remaja. Beliau mengalami berbagai zaman, mulai dari pejuang-pejuang pada zaman Belanda sampai penongkrong zaman milenial. Namun, tak seberuntung saat kami mendapatkan bangku untuk duduk, hari itu kami datang saat Mbah Lindu absen berjualan karena sedang masuk angin. Anak dan cucunya Mbah Lindu-lah yang kemudian bertugas melayani pembeli.
Segalanya terasa pas di gudeg racikan Mbah Lindu. Sambal kreceknya menurut saya istimewa, bahkan baru dari tampilannya saja—oranye kemerahan menyala berbalur rawit hijau segar—sudah sangat menggugah selera.
Ketika saya menanyakan kabar Mbah Lindu kepada putri perempuannya, Ibu Ratiah, ia menjawab, “Sudah sepuh, Mbak. Gampang masuk angin. Tapi, masih masak, kok. Mbah kalau nggak kerja malah nggak betah.”
Banyak pertanyaan yang berseliweran di benak saya. Pertanyaan yang tak semuanya membutuhkan jawaban, yang lebih berupa andai-andai dan perenungan. Pada zaman di mana perubahan berlari cepat dan memusingkan, konsistensi yang dilakukan oleh orang-orang seperti Mbah Lindu menjadi kelangkaan yang menyejukkan. Tanpa bertanya langsung dan mendalam, tentu saya tak akan bisa tahu apa sesungguhnya yang menggerakkan Mbah Lindu untuk melakukan yang ia lakukan berpuluh tahun. Apakah sekadar menyambung hidup? Apakah kecintaan? Ataukah gabungan keduanya?
Sebatang rawit tergigit dan seketika menggugah lamunan saya. Teh manis bukanlah minuman yang biasanya saya pilih, tetapi saat itu tidak ada minuman lain yang lebih menyejukkan.
LANGIT pagi jernih dan biru cerah saat kami kembali menempuh perjalanan ke Kulon Progo. Sekitar pukul sepuluh pagi, kami tiba di depan pintu kayu bercat biru muda. Seorang bapak berkemeja putih kotak-kotak berdiri menyapa kami. Rambut berombak membingkai wajah tirusnya yang berkeriput. Suaranya dalam dan serak. Ia memperkenalkan dirinya sebagai Pak Margo.
Secara fisik, Pak Margo adalah tipikal profil petani tua yang kerap kita lihat di desa-desa. Tampilan luar mereka tampak didera keras oleh cuaca, tetapi tubuh mereka masih tangguh untuk bergerak lincah dan berdiri tegap.
Beberapa kali kepala saya harus merunduk agar menghindari benturan dengan kandang-kandang burung yang bergantung di teras rumah Pak Margo. Ketika saya mengedarkan pandangan, ternyata masih banyak berwarna-warni kandang burung lainnya mengelilingi rumah serba kayu itu.
Selain kicauan burung tekukur yang sesekali bersahutan, hening meliputi tempat itu. Rumah Pak Margo terletak agak jauh dari jalan raya. Hanya ada segaris jalan berbatu yang muat dilalui sepeda motor. Pohon-pohon kelapa yang menjulang tinggi memagari sisi jalan. Di kiri dan kanan, terpisah sekitar sepuluh meter pekarangan tanah, terdapat dua rumah lain.
Kami dipersilakan menempati kursi-kursi di ruangan yang terasa cukup lega dan lengang. Tiang penyangga berupa batang kayu solid terpancang di tengah rumah. Terdapat ukiran khas Jawa menghiasi beberapa bagiannya. Atap pelana dengan langit-langit tinggi membuat ruang dalam rumah Pak Margo terasa sejuk. Hampir semua bagian rumah itu, termasuk furniturnya, terbuat dari kayu yang tidak dipoles.
Satu objek di dinding seketika mencuri perhatian saya. Sebuah wayang kulit berukuran besar, digantung di posisi yang memang seolah ditujukan agar jadi fokus visual. Tebersit keinginan saya untuk bertanya, tetapi saya harus menelan dulu pertanyaan itu karena tiba-tiba muncul seseorang perempuan berwajah ramah dari balik pintu.
Pak Margo lantas memperkenalkan istrinya kepada kami. “Si mbok,” katanya.
“Bu Tuti,” sapa perempuan itu dengan lembut sambil menyalami kami. Kembali gelas-gelas teh hangat dan piring-piring makanan kecil memenuhi meja, padahal perut kami masih mencerna sarapan dari hotel tadi.
“Silakan dicoba. Ini makanan khas sini. Tempe benguk namanya,” ucap Ibu Tuti. Usai menyuguhi, Ibu Tuti duduk di dekat meja makan, memilih untuk mengikuti pembicaraan kami dari jauh.
Pak Margo mulai bercerita tentang kehidupannya. Ia lahir sebagai anak bungsu. Satu hari pada masa kecilnya, ayahnya jatuh dari pohon kelapa dan mengalami cedera permanen. Sejak usia dini, Pak Margo beserta kakak-kakaknya sudah harus bekerja demi menghidupi keluarga mereka.
Ketika dewasa, kakak-kakak Pak Margo menjadi transmigran ke Lampung Selatan, meninggalkan Pak Margo di Kulon Progo.
“Saya sempat menyusul kakak-kakak saya ke Lampung, mencoba ikut kerja di sana.
Tanah di Lampung beda dengan sini. Kami menyebutnya tanah tegal. Jadi, kalau tanam padi tanahnya keras, tidak berair seperti sawah. Biar begitu tanahnya subur. Dulu, tidak dipupuk juga bisa panen. Sekarang sudah sudah sama seperti di Jawa. Tidak dipupuk, ya, tidak panen,” tuturnya. “Sebenarnya saya betah di Lampung, tapi ibu saya tahu-tahu kirim surat.”
Ibunda Pak Margo, yang sudah ditinggal wafat oleh suaminya, hidup sendiri di kampung. Ia meminta Pak Margo untuk pulang menemani.
“Saya ndak tega. Akhirnya, saya pulang kemari. Bertani lagi di sini,” katanya. Ketika seorang penyuluh di sekolah pertanian bernama Ibu Indah menyarankan kedelai hitam kepada para petani sebagai pengisi periode tanam palawija, Pak Margo memutuskan untuk ikut mencoba. Saat itu, Kulon Progo melakukannya dengan serempak, termasuk Pak Margo.
Lahan Pak Margo sempat tergenang air. Namun, ia masih bisa memanen kedelai hitamnya. “Kalau saja waktu itu saya tanam kedelai putih, saya nggak yakin bisa selamat,” imbuhnya.
Bagi Pak Margo, salah satu keuntungan menanam kedelai hitam adalah stabilitas harga. “Kalau kedelai putih harganya diombang-ambingkan oleh tengkulak. Awal panen harganya tinggi, tapi setelah dua-tiga hari langsung turun. Kalau harga kedelai hitam, kan, sudah dijamin. Stabil. Yang penting harus disortasi dulu. Kalau jual begitu saja harganya tidak begitu bagus.” Menyisihkan waktu 4-5 hari, Pak Margo menyortir sendiri hasil panen kedelai hitamnya sebelum dijual ke koperasi.
“Lahan saya lahan sewaan, bukan milik sendiri,” lanjut Pak Margo. “Kalau masih ada waktu kosong, saya kerjakan juga lahan orang lain. Banyak orang di sini punya lahan tapi ndak punya tenaga kerja untuk garap, jadi masih banyak yang cari jasa buruh tani.” Pak Margono menyewa lahannya dari kelurahan. Menurutnya, memiliki lahan kini semakin sulit dan semakin mahal.
“Bayangkan saja. Lahan itu dibagi-bagi turun-temurun. Satu orang punya anak empat, lalu anaknya bagi-bagi lagi ke cucu-cucunya. Lama-lama, ya, tambah kecil,” ujarnya.
Ditambah dengan pembangunan bandara internasional di Kulon Progo, harga tanah di kampungnya itu semakin tinggi dan tak terbeli. Kendati demikian, Pak Margo bersyukur pertanian di Kulon Progo lebih tertata dibandingkan daerah lain. Jadwal tanam diatur oleh kelompok tani yang berkoordinasi dengan Dinas Pertanian. Sementara di daerah lain panennya tak seragam, panen di Kulon Progo selalu serempak. Menurut Pak Margo, selain berakibat kepada keteraturan harga, penataan seperti itu juga meminimkan risiko serangan hama.
Pak Margo lalu mendeskripsikan tipikal harinya kepada kami. “Pagi-pagi saya berangkat ke ladang. Siang-siang saya istirahat, makan. Kerja lagi sampai sore. Setiap hari seperti itu.”
“Boleh tahu berapa usia Bapak sekarang?” Saya bertanya.
“Saya 73 tahun. Selisih lima tahun dengan istri,” jawab Pak Margo.
Jawaban itu disambut anggukan istrinya. “Kami punya tiga anak, empat cucu,” sahut Ibu Tuti. Ia lalu menunjuk kedua jendela yang terbuka, yang memampangkan dua rumah yang mengapit rumahnya. “Dua tinggal di situ. Yang bungsu masih di sini,” lanjutnya. “Ada yang kerja di pabrik roti, ada yang bertani melon.”
Dua anak mereka disekolahkan sampai tingkat SMP, sementara yang bungsu lanjut hingga SMK. Pak Margo dan istrinya sendiri hanya pernah bersekolah sampai SD.
“Nggak capek kerja terus setiap hari, Pak?” tanya saya.
“Yang saya minta ke Tuhan cuma kesehatan. Itu yang paling pokok. Saya senang masih bisa kerja,” tandas Pak Margo. Pada usianya yang kepala tujuh, Pak Margo terbilang sangat aktif. Jika sedang tidak bertani, ia mencari pakan ternak hingga ke daerah Bantul menggunakan sepeda ontelnya. Ibu Tuti tak ketinggalan. Sehari-hari ia berdagang di pinggir jalan, menjual rupa-rupa hasil bumi, mulai dari kelapa, pisang, dan buah-buahan. Kadang, Ibu Tuti membeli hasil bumi dari tetangganya lalu dijual lagi ke pasar dengan mengambil sedikit keuntungan.
“Ndak terlalu capek, kok,” Pak Margo menambahkan. “Sore sudah pulang. Habis itu nonton teve sama Ibu.”
“Suka nonton wayang, Pak?” Pertanyaan yang saya simpan sejak tadi akhirnya punya kesempatan terlontar.
Sebagai jawaban, Pak Margo menoleh ke arah wayang kulitnya di tembok. “Tahu itu siapa?”
Wayang bukan keahlian saya. Daripada menebak-nebak dan mempermalukan diri sendiri, lebih baik saya jujur menggeleng.
“Kresno,” ucap Pak Margo. “Tokoh kesukaan saya.”
Seketika, Kresno membuka sisi lain Pak Margo yang sebelumnya tak terungkap. Hampir seperempat jam beliau bercerita tentang kisah pewayangan, tentang Kresno yang berkulit hitam. “Kresno itu kekuatan batinnya luar biasa. Dia bisa menghidupkan yang mati, bisa melihat masa depan, dan bisa berubah wujud jadi raksasa. Waktu sudah jadi raja, Kresno itu adil dan bijaksana. Nah, Kresna itu titisan Dewa Wisnu. Waktu Kresna moksa, wujudnya itu kembali lagi jadi Dewa Wisnu.”
Pak Margo masih menyimpan kejutan lain. Dibarengi mata bercahaya, mengalirlah kisah Margo muda yang ternyata gemar berkesenian. Pak Margo kerap terlibat di pertunjukan wayang orang, reog, petangkilan, dan ketoprak. Kresno adalah tokoh yang rutin ia perankan.
“Saya sering pentas di Yogya. Saya bahkan pernah pentas di Gedung Kesenian Wates. Saya naik sepeda ontel pulang pergi dari Kulon Progo,” tuturnya. “Dulu belum banyak lampu di jalan. Malam-malam kalau saya naik sepeda, wah, gelap sekali.” Pandangan Pak Margo menerawang jauh, seolah tengah menyusuri jalan-jalan gelap yang dulu ia lalui bersama sepedanya. Dan, pada sebuah titik, perjalanan itu berhenti.
Pandangannya kembali mendarat, menatap kami. “Itu hiburan saya waktu masih muda.” tutupnya.
“Masih suka nonton pertunjukan wayang, Pak?”
Pak Margo mengarahkan pandangannya ke pesawat televisi yang sedang padam.
“Nonton lewat teve saja. Saya juga suka nonton sepak bola, keroncong. Di TVRI Jogja suka ada acara Angkringan, sama apa itu...” Pak Margo berpikir sejenak, “anu, Pangkur Jenggleng.”
Perhatian saya tertumbuk pada ukiran di tiang penyangga rumah. Ada tanggal yang dipahat di sana. 13 Agustus 1987. Saya menduga itulah tanggal rumah Pak Margo berdiri.
“Bapak yang ukir sendiri?”
Pak Margo ikut mendongak. “Ya, saya yang ukir itu.”
Sama halnya dengan kayu-kayu di rumahnya yang tidak dipoles, ukiran itu bukan ukiran halus macam karya pengrajin Jepara. Namun, cerita tentang Kresno dan masa mudanya telah menguak sisi Pak Margo yang tak kami duga. Sisi artistik. Mendadak, ruangan itu mengungkap hal-hal yang sebelumnya tak saya lihat.
“Nggak kangen manggung, Pak?” tanya saya.
Sejenak pandangan Pak Margo kembali menerawang, seolah ia mengunjungi lagi sebuah tempat yang sama dalam ingatannya. Ke masa mudanya sebagai Kresno. Seutas senyum tersungging, menampakkan giginya yang tanggal beberapa. “Sekarang hiburan saya cukup naik sepeda saja.”
“Sama pelihara burung.” Ibu Tuti menimpali dari meja makan.
Di penghujung kunjungan kami, Pak Margo mengajak kami berkeliling di seputar rumahya. Menunjukkan koleksi perkutut, tekukur, dan labet, yang ia miliki. Bersisian dengan karung-karung berisi kedelai hitam, tampak sepeda ontel Pak Margo bersandar di dinding. Warnanya hitam.
“Seperti Kresno, Pak,” cetus saya.
Pak Margo terdiam sejenak, sebelum akhirnya memahami yang saya maksud. Tawanya pecah.
Hari-hari Pak Margo melakoni seni wayang telah berlalu. Kini, ditemani kicauan burung yang bergantung mengelilingi rumah, diapit anak-anaknya yang tinggal di lahan yang sama, Pak Margo menjalani hidup tenang. Jiwa seni itu tidak mati. Ia beristirahat dalam ingatan dan tetap hidup lewat sentuhannya sehari-hari.
Tak pelak, kenyataan itu membawa kembali saya berandai-andai. Sepanjang kunjungan ini, saya merasa diperhadapkan dengan isu kelanggengan, yang di dalamnya bercampur dedikasi sekaligus keterbatasan akibat tak punya banyak pilihan. Akankah saya temukan profil yang berbeda? Seseorang dengan mimpi yang masih berdenyut? Mimpi yang berdiam bukan di latar melainkan di garda depan? Aspirasi yang masih membara?
“Mau kembali besok atau kita lanjutkan sore ini, Mbak?” tanya Angki setelah menutup pintu mobil.
Pesawat saya esok akan bertolak siang hari. Saya enggan membayangkan kalau harus pergi terburu-buru ke bandara dari Kulon Progo.
Saya mendongak. Cuaca masih cerah. Matahari belum lama lewat dari puncak kepala.
“Kita lanjut.”
Tatkala setiap santapan
Menjadi perayaan,
gerbang perkenalan,
Keragaman kekayaan nusantara
Sembilan dasawarsa dan selanjutnya
Bersama petani dan Indonesia
LINGKUNGAN yang kami singgahi berikutnya terasa lebih hidup dan semarak. Rumah-rumah berdiri berdekatan. Suara interaksi manusia, dewasa dan kanak-kanak, bercampur di udara. Hari memang sudah sore. Saatnya anak-anak yang telah pulang sekolah bermain bebas.
Sebuah sepeda motor matic mendahului kami, tiba lebih dulu di halaman rumah yang kami tuju. Pengendaranya, seorang perempuan berkerudung yang tampak energik, tersenyum lebar ke arah kami.
“Permisi, saya ke dalam duluan. Silakan masuk saja,” ucapnya sambil membuka pintu dengan tergesa. Terpampanglah ruangan memanjang yang padat oleh furnitur. Seorang pria bertubuh kurus dan tinggi berjalan keluar menyapa kami. Ia menyalami kami satu-satu dan memperkenalkan diri sebagai Sukisna.
Tak lama, istri Pak Sukisna keluar. Tangannya menenteng seperangkat compact stereo. Di pintu, ia menyerahkannya kepada seseorang sebelum bergabung kembali bersama kami di ruang tamu.
“Nanti sore ada kelas senam untuk ibu-ibu di balai desa, jadi harus disiapkan musiknya,” katanya kepada kami. “Saya Sumarni.” Ia memperkenalkan diri.
“Bu Sumarni yang ngajar senam?” tanya saya spontan.
“Oh, bukan,” balasnya dengan tawa. “Saya bantu ngatur saja. Sudah ada instruktur dari dekat-dekat sini yang langganan mengajar ibu-ibu.”
“Senam apa biasanya, Bu?”
“BL, Mbak,” jawabnya. “Biar langsing!” Tawa Ibu Sumarni kembali pecah.
Saya segera menyukai sosok Ibu Sumarni yang ceria dan murah tawa.
Kesemringahannya tampak menjadi penyeimbang bagi karakter Pak Sukisna yang lebih kalem.
Dengan tutur tenang dan cenderung pelan, Pak Sukisna mulai menceritakan latar belakangnya. Beliau seorang tamatan SMA. Kini, ia bekerja ganda sebagai petani sekaligus aparat desa.
“Di bagian apa, Pak?” tanya saya.
“Saya di bagian Pelayanan Umum,” jawabnya. “Saya juga dipercaya Kepala Desa untuk menagih PBB. Jadi, saya biasa keliling ke mana-mana.”
Keseharian Pak Sukisna disibukkan oleh kegiatan administratif. Baru pada hari Minggu ia leluasa bertani. Pada hari kosongnya itu, Pak Sukisna bertani dari pagi hingga petang.
“Nggak ada liburnya, dong, Pak,” cetus saya.
“Bertani itulah liburan buat saya,” jawabnya dengan senyum. Bertani menjadi rekreasi seminggu sekali sebagai penyegaran di antara rutinitasnya mengurus desa. “Lahan saya juga tidak besar, hanya sekitar 250 ru,” tambah Pak Sukisna. Ru merupakan satuan yang lazim dipakai petani Jawa. Belakangan saya mengetahui bahwa satu ru kurang lebih sama dengan 14 meter persegi.
Pak Sukisna memulai menanam kedelai hitam sejak tahun 2013. Meski tidak besar, dengan menanam kedelai hitam, lahan garapannya bisa menghasilkan panen dua kali lipat dibandingkan saat ia menanam kedelai putih.
“Saya pakai uang dari hasil panen kedelai hitam waktu memasukkan Ikhsan ke SMK,” kata Pak Sukisna. Seraya menunjuk ke arah istrinya, Pak Sukisna berkata, “Senang sekali si Ibu.”
“Betul-betul seperti diatur!” Dengan ekspresif, Ibu Sumarni menepuk tangannya. “Pas kedelai hitamnya selesai panen, paaas... sekali harus bayar uang pangkal.”
Pak Sukisna dan Ibu Sumarni dikaruniai tiga orang anak. Putra sulungnya bernama Ikhsan Kurniawan, remaja 17 tahun yang kini tengah bersekolah di SMK. Kedua adik Ikshan terpaut usia yang cukup jauh. Adik laki-lakinya berusia 8 tahun, sementara yang adik perempuannya yang bungsu masih berusia tiga tahun.
Keluarga Pak Sukisna cukup beruntung. Tak hanya Pak Sukisna memiliki penghasilan tetap dari hasil bertani dan jabatannya di kantor desa, Ibu Sumarni ikut menambah pundi pendapatan keluarga dengan menjadi tenaga pengajar PAUD. Namun, tak berarti keluarga mereka tak luput dari berbagai tantangan.
Ibu Sumarni sempat terinfeksi virus toksoplasma yang mengharuskannya berobat selama setahun penuh. Itu pula yang menjelaskan jarak yang jauh antara kelahiran anak pertamanya ke anak kedua dan ketiga. Anak bungsunya yang perempuan juga sempat mengalami masalah pada klep jantung, yang syukurnya sekarang sudah tertangani.
Ibu Sumarni menempuh proses kuliahnya hingga sarjana saat ia sudah berkeluarga. Ia berkuliah saat akhir pekan, terkadang sambil memomong anak. Pada usianya sekarang yang menginjak 39 tahun, Ibu Sumarni aktif berkegiatan bersama ibu-ibu di kampung. Grup WhatsApp menjadi jalur komunikasi andalan untuk seabrek kegiatannya itu.
“Grup WA saya banyak banget, Mbak. Pesannya sehari sampai ratusan!” serunya. “Di Kader Yandu, di PKK kecamatan, di PAUD, di grup RT, LPMD, Senam... ada empat belas!”
“Main medsos juga nggak, Bu?” tanya saya, iseng.
“Tadinya mau buka IG. Tapi, anak saya melarang. Karena dia sudah di IG, dia nggak mau ibunya ada IG juga,” Ibu Sumarni menjelaskan dengan tawa.
Sebuah pintu ruangan yang setengah terbuka, yang tampak dari ruang tamu tempat kami duduk, menunjukkan tumpukan buku dan komputer desktop. Tak heran jika pasangan ini terdengar up-to-date.
Memiliki orang tua yang berprofesi sebagai guru, Pak Sukisna pernah bercita-cita menjadi guru. Akan tetapi, karena kondisi ekonomi yang tak berpihak, impiannya kandas di bangku SMK. Setelahnya, Pak Sukisna sempat mencoba berbagai pekerjaan. Salah satunya, mengadu nasib ke Yogyakarta dan membuka usaha rental komputer. Dari sanalah, Pak Sukisna mendapat pengetahuan cukup tentang internet dan komputer.
Bagian itu memancing keingintahuan saya. Jika Pak Sukisna sudah pernah sejauh itu membangun usahanya di kota besar, mengapa ia lantas kembali menjadi petani? Pada usia yang sebetulnya masih terbilang muda?
“Setiap kali pulang kampung, saya khawatir,” jawab Pak Sukisna. “Lahan menyusut terus, hasil panen tidak tentu. Orang-orang muda kayak saya semakin tidak tertarik bertani.” Napasnya menghela panjang. “Kalau yang muda-muda berhenti, bagaimana nanti nasib lahan pertanian di sini?”
Setelah memutuskan kembali ke Kulon Progo, Pak Sukisna pun menerapkan pengetahuannya. Komputerisasi data menjadi salah satu misi Pak Sukisna di kantor desa. “Pegawai di kantor desa tadinya belum banyak yang ngerti cara pakai komputer, jadi saya bisa sambil mengajarkan yang lain,” katanya.
Tak hanya sampai di sana, Pak Sukisna juga menjadi ketua pembina salah satu kelompok tani di Kulon Progo. Ada dua puluh tiga anggota ada di kelompok tani binaannya, yang diberi nama Lumintu.
“Dari dua puluh tiga yang saya bina, dua puluh orang sudah sepuh, cuma ada tiga petani muda,” tuturnya. “Dari tiga itu, yang dua alasannya karena terpaksa, karena ikut orang tuanya saja. Cuma satu orang yang benar-benar jadi petani karena keinginan sendiri.” Nada suaranya kali ini terdengar berbeban.
Saya teringat tiga kunjungan saya sebelumnya, yang kini menjadi ilustrasi tepat untuk kecemasan yang diungkap Pak Sukisna. Kebanyakan dari petani yang saya temui sudah berusia lanjut. Regenerasi profesi kelihatannya juga bukan sesuatu yang mereka ingin perjuangkan. Pada akhirnya, prinsip ekonomi akan menjadi penentu. Jika ada profesi lain yang lebih menguntungkan secara finansial, mengapa harus bertahan melakukan yang sama?
“Ada yang bertani karena tidak punya pilihan. Tapi, alangkah baiknya kalau kita bertani karena memang memilih. Kita akan lebih semangat cari cara supaya profesi ini lebih baik, lebih menghasilkan,” ujar Pak Sukisna.
“Bagaimana supaya bertani jadi pilihan menarik, Pak?” tanya saya. “Bagaimana cara meyakinkan anak-anak muda di sini?”
“Seperti cara saya bertani. Dibawa piknik,” jawabnya kalem. “Saya ajak mereka seminggu sekali ke ladang. Dilakukannya pelan-pelan. Mereka jadi tahu caranya, tantangannya. Ilmu tani sekarang juga sudah lebih maju. Orang-orang mulai tahu jarak tanam yang efektif seperti apa, nggak asal tanam saja. Yang penting buat anak-anak muda itu adanya informasi lengkap, jaminan benih yang berkualitas, karena itu yang akan menentukan hasil.”
Pak Sukisna tetap menyimpan harapan agar muncul generasi petani muda di Kulonprogo. “Selama ada lahan, pasti ada yang mengerjakan,” tandasnya. Kalimat terakhirnya terdengar bagai kesimpulan yang kokoh.
PETANG yang bersemburat merah di angkasa menyambut kepulangan saya ke Jakarta. Menjelang makan malam, saya mencairkan bumbu pecel yang saya bawa dari Pasar Wates. Sesuai instruksi yang sudah saya sampaikan sejak masih di Adi Sucipto, asisten rumah tangga kami telah menyiapkan aneka sayuran, tempe-tahu goreng, dan beberapa butir telur asin.
Di meja makan, telah siap nasi merah hangat yang menggunduk di wadah kayu. Sambil ikut membantu menyiapkan piring dan alat makan, si sulung Keenan, sesekali mengintip persiapan saya.
“Itu gado-gado?” tanyanya.
“Bukan. Pecel.”
“Bumbunya memang hitam, gitu?” Wajahnya meragu.
“Karena dibuatnya dari wijen hitam. Enak, kok.”
Ucapan saya terbukti. Suap demi suap, tumpukan sayur bersaus wijen hitam di tengah meja mulai ludes.
Tak pernah lepas dari kecap, si bungsu Atisha menambahkan kecap di setiap sendokan nasinya.
Melihat itu, saya pamit sebentar, mengambil sesuatu yang saya simpan di tas. Oleh-oleh kecil yang saya bawa dari koperasi Kulon Progo kemarin.
“Tisha tahu ini apa, nggak?” tanya saya.
Mata Atisha berbinar melihat sekantong kecil biji-biji hitam. “Are those beads?” tanyanya polos.
Saya tertawa. Saya sudah menduga, Atisha pasti mengasosiasikan biji-biji itu dengan manik-manik bulat yang biasa dirangkai menjadi aksesoris.
“Ini kedelai hitam.” Saya lalu mendekatkan kantong itu ke botol kecap di dekat piring makannya. “Kecap kamu terbuat dari ini. Ada namanya, lho.”
“Siapa?”
“Mallika.”
“Wow!” seru Atisha.
“Aku belum pernah lihat kedelai hitam!” Abangnya menyambar.
Selagi kedua anak saya berebut menilik isi kantong itu, ingatan saya kembali ke Kulon Progo. Ke perjalanan yang singkat tapi terasa panjang. Membawa pulang biji-biji kedelai hitam pada malam itu terasa seperti mempertemukan tangan-tangan petani Kulon Progo dengan keluarga saya di meja makan.
Biji-biji hitam itu, benih Mallika, menjadi ikatan antara Bango dan petani. Ikatan itu lantas berlanjut kepada masyarakat Indonesia secara luas melalui botol-botol kecap yang hadir di rumah-rumah, di tempat-tempat makan.
Di balik sepiring makanan yang kita hadapi sehari-hari, terdapat lapis-lapis kisah yang tak terungkap. Para petani dengan pergumulannya, tentang masa depan dan kelestarian profesi mereka.
Di meja itu, saya tersadar bahwa saya dan keluarga saya pun ikut berperan dalam melestarikan profesi mereka. Peran itu tidak berhenti hanya di petani sendiri, atau di produsen makanan, tetapi juga meliputi apresiasi kita. Apresiasi kitalah yang akan membuka jalan cerita kuliner tradisi Indonesia selanjutnya. Regenerasi dan keberlangsungan profesi tani merupakan tanggung jawab kita bersama.
Ketika malam nanti melarut dan saat istirahat tiba, saya sudah punya bahan untuk bercerita untuk anak-anak saya. Kepada mereka, saya akan mengupas lapis demi lapis kisah para petani yang saya temui. Kisah tentang kehidupan yang tersimpan dalam di dasar piring-piring saji, dan menanti untuk diungkap.